Di akhir anak tangga,
persis di depan sebuah gua yang menganga selebar 50 meter, terpancang
sebuah plang bertuliskan, “Situs Gua Harimau. Situs ini sedang dalam
penelitian Pusat Arkeologi Nasional”.
Hanya tiga meter di
belakang plang ini, terdapat dua lubang galian yang dipagari kawat.
Lubang galian yang terbesar berbentuk huruf L, dengan panjang lebih dari
5 meter.
Saat dilihat lebih dekat,
terdapat beberapa kerangka manusia yang terbujur berjejer. Juga ada
beberapa lokasi yang ditutupi dengan kotak-kotak berbungkus terpal
plastik. Mereka adalah hasil ekskavasi Tim Peneliti Pusat Arkeologi
Nasional sejak 2008 lalu.
Dulu, masyarakat takut mendekati gua
ini. Seperti namanya, konon tempat persembunyian harimau. Roli Chandra,
juru kunci Gua Harimau, menceritakan, gua ini juga pernah jadi tempat
persembunyian warga saat penjajahan Belanda.
"Gua ini bisa menembus ke
Gua Putri, dengan melintasi mulut gua sekitar 45 menit sampai ke atas,"
ujar ayah tiga anak ini. Namun Tim Peneliti Arkenas belum melakukan
ekskavasi di Gua Putri.
Sejak tim peneliti berulang kali ke gua
ini, masyarakat pun mulai berani mendekat. Warga pun mulai menjadikan
lahan sekitar gua untuk bercocok tanam karet dan kopi.
"Dulunya ini hanya hutan
lebat. Mau membuka lahan sebagai perkebunan pun warga takut. Baru
sekarang warga berani," kata pria berusia 29 tahun itu.
Gua yang
terletak 300 kilometer barat daya Ibu Kota Sumatera Selatan, Palembang,
ini menjadi sasaran riset arkeologi setelah pada 2008 silam ditemukan
lukisan gua. Ini lukisan gua pertama ditemukan di Pulau Sumatera.
Lukisan di dinding Gua Harimau. (Foto: VIVAnews/Aji YK Putra)
Motifnya pun unik,
seperti songket, kain khas Sumatera Selatan. “Beberapa bulan kemudian,
dilakukan penggalian dan ditemukan beberapa fosil,” kata Roli yang ikut
mendampingi peneliti sejak saat itu.
Dua Lapis
Dalam
5 tahun penelitian, Arkenas menemukan 76 kerangka manusia kuno terkubur
di Gua Harimau itu. Ada dua lapis tanah tempat kerangka ditemukan.
Di lapis pertama, kurang
lebih 1 meter, ditemukan 72 kerangka yang terbujur. Ketika digali lebih
dalam, sampai ke 1,8 meter, ditemukan empat kerangka dalam keadaan
meringkuk, bukan terbujur lurus.
"Rentang usia keduanya itu
antara 5.000 sampai 3.000 tahun. Kerangka bagian atas lebih muda dari
kerangka yang di bawah," ujar Dyah Pratiningtyas, salah satu peneliti
Arkenas, menjelaskan soal penemuan itu.
Arkenas, lanjut Dyah,
masih berupaya mengetahui apakah kerangka yang lebih muda dan lebih tua
ini berasal dari peradaban atau ras yang sama.
Spekulasi sementara,
kerangka yang lebih tua adalah ras Austromelanesoid, sementara yang
lebih muda adalah Mongoloid. Arkenas sudah mengirimkan spesimen gen
mereka ke Lembaga Eijkman di Jakarta yang bisa mengekstraksi DNA.
Hasil
tes DNA atas sampel kerangka itu bisa mengungkap lebih jelas tabir
asal-usul kerangka individu itu. “Saya berpikir hasil DNA itu bisa kita
pakai untuk mencari relasi tersebut. Kalau yang dari Eijkman itu
berhasil membaca sinyal segala macam, kira-kira mereka dari mana, apakah
mereka orang lokal, apakah mereka pendatang baru kita bisa menjawab,”
tambah dia.
Arkenas juga menyatakan masih ada kerangka manusia
kuno yang lebih tua dari usia kerangka manusia di Gua Harimau ini.
Kerangka manusia di gua dekat Gunung Sewu di selatan Yogyakarta berusia
kisaran 10 ribu tahun.
Namun temuan kerangka
manusia di Gua Harimau ini memiliki keunikan dibanding temuan komunitas
manusia di gua-gua Pulau Jawa, yang biasanya hanya beberapa kerangka
saja.
“Kita ada yang lebih banyak lagi, seperti di Gilimanuk,
Bali sampai 200 individu, tapi dia di pesisir dan terbuka (open site),
tidak di dalam gua. Ini (Gua Harimau), saya pikir mungkin lebih dari 100
kalau dibuka semua,” katanya.
Gua Harimau bukan satu-satunya gua
di Sumatera tempat ditemukannya kerangka manusia kuno. Di ujung utara
Sumatera, tepatnya di Loyang Mendale dan Ujung Karang, Kabayakan, Aceh
Tengah, pada 2011 lalu, tim arkeolog Sumatera Utara juga menemukan
kerangka manusia kuno.
Usia kerangka mencapai
5.000 tahun, lebih tua dari bukti migrasi manusia kuno di Sulawesi yang
dianggap sebagai awal manusia Indonesia. Temuan kerangka di situs
Sulawesi berusia lebih muda, diperkirakan 3.580 tahun lalu.
Kerangka
di Loyang Mendale ini ditemukan terkubur dengan posisi kaki terlipat.
Di dekat kerangka, tim peneliti menemukan sejumlah artefak yang sama
dengan yang ditemukan di Thailand.
Ketua Tim Arkeologi Sumatera
Utara, I Ketut Wiradiyana, menyatakan, berdasarkan pemeriksaan DNA,
kerangka itu diketahui berasal dari ras Mongoloid dengan budaya
Austronesia. Ketut menduga adanya perpaduan budaya antara ras Mongoloid
dengan budaya Austronesia yang datang dari utara dengan ras
Australomelanesoid yang berbudaya Hoabin saat mendatangi kawasan
tersebut.
Salah satu bukti kuat perpaduan budaya itu ada pada
budaya menguburkan orang mati dengan posisi melipat atau terlihat
meringkuk. Kebiasaan melipat itu, kata Ketut merupakan ciri budaya
Hoabin yang kerap mendiami daerah dataran rendah, pesisir. Tradisi
jenazah dilipat ini masih tampak pada sejumlah suku di Papua.
“Ini
semakin menguatkan kemungkinan adanya jalur migrasi lain yang lebih tua
dari pada jalur migrasi dari Sulawesi seperti yang kita kenal selama
ini,” katanya. Dugaan itu makin kuat dengan temuan sejumlah kapak
lonjong dan gerabah poles merah. Kedua benda itu selama ini identik
dengan kawasan Indonesia bagian timur, di antaranya Sulawesi, Maluku dan
Papua.
Perjalanan Panjang
Temuan itu
kembali menghangatkan debat asal muasal manusia Indonesia. Teori yang
tak terbantahkan adalah semua manusia (Homo sapiens) di muka bumi
bernenek moyang dari Afrika atau dikenal sebagai Teori Out of Africa.
Goa Harimau menjadi perhatian serius arkelog dunia. Foto: VIVAnews/Aji YK Putra
Sebelum Gunung Toba
meletus sekitar 74 ribu tahun yang lalu, Homo sapiens telah tiba di
Nusantara yang mana saat itu Sumatera, Jawa dan Kalimantan masih
merupakan bagian dari anak benua Asia atau dikenal sebagai Sundaland.
Setelah Toba meletus, sebagian besar populasi Homo sapiens punah.
Stephen
Oppenheimer, genetikawan dari Inggris, menyebutkan terjadi bottle neck
populasi manusia saat itu, tersisa sedikit di Nusantara dan Afrika
sendiri. Jumlahnya sekitar 10.000 orang.
Orang-orang yang tersisa
di Nusantara ini yang kemudian sekitar 50.000 tahun yang lalu,
kawin-mawin dengan Homo denisova, hominid yang baru 2011 ini diketahui
keberadaannya. Gen Denisova ini menetap antara 4-6 persen di gen orang
Melanesia yang kini menetap di Papua, Australia dan kepulauan di
Pasifik.
Fakta soal Melanesia sebagai penghuni pertama Nusantara
ini tidak ada perdebatan. Perdebatannya adalah, gelombang manusia
berikutnya, yang berbahasa rumpun Austronesia di mana Bahasa Melayu
merupakan cabang utamanya.
Teori Out of Yunan menyatakan, Austronesia ini berasal dari Yunan di China Selatan. Arkeolog I Ketut Wiradiyana, salah satu pendukung teori ini.
Dia menyatakan besar
kemungkinan migrasi manusia berasal dari China bagian Selatan yang turun
menuju kawasan Thailand, sebelum akhirnya menetap di sebelah barat
Indonesia atau di kawasan Aceh Tengah. “Seperti yang diketahui, ras
Mongoloid memang berasal dari daerah Cina bagian Selatan,” katanya.
Sementara teori Out of Taiwan
menyebutkan nenek moyang penutur Austronesia ini berasal dari Formosa,
nama lain dari Taiwan. Teori ini berlandaskan pada temuan kesamaan
bahasa dan budaya.
Di Taiwan terdapat tiga
etnik asli yang berbahasa rumpun Austronesia serta memiliki budaya
tembikar dan cocok tanam yang sama. Teori ini disokong oleh arkeolog
senior dari Australian National University, Peter Bellwood.
Namun
peneliti lain mengungkapkan justru manusia Indonesia merupakan moyang
manusia kawasan atau regional Asia Tenggara, saat paparan Sunda masih
satu anak benua besar. Teori Out of Sundaland ini dipelopori genetikawan
asal Inggris, Stephen Oppenheimer [Baca Wawancara dengan VIVAnews].
Oppenheimer
menemukan, terjadi penyebaran drastis genetika sekitar 8.000 tahun yang
lalu ke sekitar pulau-pulau di Nusantara. Kurun 8.000 tahun yang lalu
ini, menurut Oppenheimer, seiring dengan akhir zaman es yang ditandai
dengan tenggelamnya Sundaland.
“Bellwood berteori bahwa
orang-orang datang dari Taiwan, menyebar di Indonesia dan Filipina dan
membunuh semua orang di daerah itu. Saya membantah teori itu. Sebab
yang terjadi sesungguhnya adalah sebaliknya. Orang-orang Taiwan berasal
dari sini,” kata Oppenheimer.
Namun kubu arkeologi belum bisa
menerima argumentasi genetika ini. Wakil Dekan Bidang Penelitian,
Pengabdian kepada Masyarakat dan Kerjasama Fakultas Ilmu Budaya UGM, Dr.
Daud Aris Tanudirjo, mengatakan mengatakan dalam konteks persebaran
moyang manusia Indonesia, lebih condong dengan skema Out of Taiwan.
Leluhur muncul dari Taiwan kemudian menyebar ke Kalimantan, Sulawesi dan
kemudian ke Sumatera dan Jawa.
"Tapi kalau dibilang (Sundaland)
sebagai lokasi persebaran saya kira kurang begitu tepat,” tuturnya.
Sejumlah penemuan kerangka ras Mongoloid pun, kata Daud, belum ada yang
setua yang ditemukan di Taiwan.
“Sementara ini yang saya
ikuti adalah penemuan terbaru bahwa asal-usul orang Indonesia berasal
dari Taiwan. Dan saya kira dengan adanya penemuan terbaru di Liang
Domeh, Pulau Matsu Taiwan, semakin menguatkan jika fosil di Taiwan
adalah yang tertua,” jelas dia.?
Dyah, peneliti dari Arkenas,
menyatakan, untuk membangun sebuah teori arkeologi, tidak hanya butuh
satu bukti artefak saja. “Perlu banyak data untuk bentuk suatu hipotesa.
Kalau baru satu titik, itu baru asumsi. Belum bisa dikatakan hipotesa,
dibutuhkan bukti lain untuk mendukung temuan ini,” jelasnya.
Peta Genetika Indonesia
Namun
arkeolog membuka diri pada genetika sebagai jalan menelusuri asal-usul.
Deputi Direktur Lembaga Eijkman Jakarta Herawati Sudoyo menyatakan
lembaganya bekerjasama dengan Pusat Arkeologi Nasional meneliti gen
kerangka manusia kuno yang ditemukan arkeolog di sejumlah tempat di
Indonesia.
Peneliti mengambil sampel DNA mitokondria yang
merupakan warisan dari ibu kepada anak dan kromosom Y yang diwariskan
dari ayah. Menurut Herawati, penelitian menggunakan mitokondria dan
kromosom Y ini memiliki kelemahan yakni sulit melihat adanya percampuran
gen. Percampuran gen bisa diteliti dengan riset otosom atau riset
menyeluruh atas genetika seseorang.
Meski demikian, Herawati
mengatakan studi gen dari sisi mitokondria akan membuka informasi mutasi
gen saat manusia bermigrasi. Hera menjelaskan perjalanan migrasi, yang
berbeda lingkungan dan kehidupan, akan menambah motif gen pada manusia
itu.
Jadi tak heran, kata dia,
jika ditemukan adanya percampuran atau haplotipe, dari Asia daratan
masuk ke Formosa dan dilanjutkan turun ke wilayah Indonesia.
Arkeolog meneliti genetika untuk mengetahui asal-usul Fosil. Foto: VIVAnews/Aji YK Putra
Eijkman, kata Herawati, mengumpulkan hampir seluruh sampel genetika
etnis yang ada di Indonesia. Ia mengatakan studi gen tidak akan berhenti
sampai proses pemetaan. Tetap akan dilakukan untuk meneliti lebih
detail dan lebih khusus tiap suku bangsa.
Dalam peta gen
orang Indonesia yang sudah terpetakan, secara ringkas tampak adanya pola
migrasi manusia dari Barat ke Timur bagian Indonesia. Pola ini ditandai
dengan warna tertentu. "Dari peta DNA-nya terlihat, misalnya wilayah
Papua itu hijau muda, genetika sukunya kelihatan. Totally semua hijau,"
ujar Hera.
Sementara di belahan barat Indonesia, umumnya hijau
tua. Pengecualian di wilayah Sumatera Barat, terdapat pola dua gen
berbeda yaitu hijau tua dan hijau muda sekaligus.
Total, Eijkman menemukan
32 klaster genetika manusia Indonesia yang secara umum terbagi atas tiga
kelompok besar. Pertama, kelompok genetika Melayu, Minang, Jawa,
Kalimantan; kedua, kelompok Makassar, Sumba, Minahasa; dan ketiga,
kelompok Papua dan Alor. Kemudian terdapat juga kelompok kecil yang
terpisah jauh dan diperkirakan lebih tua dari dua kelompok pertama yakni
Nias-Mentawai.
Pembuktian gen manusia Indonesia juga makin
menantang setelah ditemukannya gen Homo denisovan, yang kerangkanya
ditemukan di Siberia, Rusia, pada gen orang Melanesia yang kini menghuni
Papua dan Australia.
Herawati mengakui adanya
temuan gen Denosivan itu namun peneliti Eijkman sejauh ini belum
menemukan hasil yang signifikan. Sejauh ini, Eijkman sudah
mengonfirmasi, ada kawin-mawin Homo sapiens dengan Homo neandertal.
"Perkawinan Homo
Neandertal dengan manusia biasa memang ada. Kebetulan kami tengah
bekerjasama dengan peneliti yang mengerjakan Neandertal," ujar Herawati.
Pada
masa depan, lanjut dia, pemetaan gen bukan saja bermanfaat untuk
melacak asal-usul, namun juga untuk mendukung kesehatan masyarakat. Hera
mengatakan nantinya gen dapat digunakan untuk alat prediksi
kecenderungan penyakit yang berkembang pada berbagai populasi masyarakat
di Indonesia.
Dia mencontohkan,
penyakit turunan yang umum melanda orang Indonesia yaitu talasemia.
Meski tidak menjadi pencegah sepenuhnya bagi penderita Talasemia, namun
setidaknya peta gen itu bisa menjadi panduan untuk pencegahan. (ren)
Kontributor VIVA.co.id Budi Satria turut melaporkan dari Medan